![]() |
Ogoh-Ogoh: Inilah ogoh-ogoh yang bakal diarak oleh umat Hindu di Bali (foto/Igak Sudaratmaja) |
Halamankita.com - Setiap perayaan Hari Raya Nyepi tiba, umat Hindu akan menggelar pawai Ogoh-Ogoh.
Ogoh-Ogoh merupakan karya seni yang berupa patung besar yang menyerupai raksasa. Patung-patung yang menyerupai raksasa itu diarak, menjelang puncak perayaan Hari Suci Nyepi.
Di kutip dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, kata Ogoh-Ogoh berasal dari kata Bali yakni ogah-ogah yang artinya sesuatu yang digoyangkan.
Di Bali, ogoh-ogoh memiliki versi yang berbeda. Seni patung yang berasal dari masyarakat Bali menggambarkan kepribadian dari Bhuta Kala.
Masih dari halaman yang sama, Ogoh-Ogoh mencerminkan sifat negatif manusia, juga memiliki makna untuk mengekspresikan nilai-nilai religius dan ruang waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama.
Selain itu, ogoh-ogoh, merupakan karya kreatif yang disalurkan melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan.
Pelaksanaan parade ogoh-ogoh, memiliki filosofi manusia saling menjaga, baik alam dan sumber daya agar tidak merusak lingkungan sekitar.
Di lansir dari RRI.co.id, tradisi ogoh-ogoh berasal dari tahun 1983, keputusan Presiden Republik Indonesia yang menetapkan Nyepi sebagai hari libur nasional.
Lahirnya tradisi ini dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan kepercayaan dan agama Hindu Dharma, serta adat istiadat masyarakat Bali.
Tradisi ogoh-ogoh biasa dilaksanakan di Pengerupukan, sebelum Hari Raya Nyepi. Pengerupukan adalah hari sebelum Hari Raya Nyepi atau Tilem Sasih Kesanga.
Usai dibuat, ogoh-ogoh langsung di doakan sebagai tanda penghormatan terhadap entitas spiritual yang dikuburkan.
Karya seni berupa patung raksasa itu diarak berkeliling desa atau di parade dengan suara riuh, menuju Sema. Yakni tempat pembakaran jenazah atau pekuburan, atau bahkan lahan kosong.
Usai diarak, patung-patung tersebut dibakar sebagai bagian dari proses Nyomnya Kala. Tujuannya menetralisir energi negatif atau Bhuta Kala di dalamnya, menjadikannya energi positif.
Proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.
Kehadiran Ogoh-ogoh selalu dikaitkan dengan upacara Tawur Kesanga, yang memiliki dimensi keagamaan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Dikutip dari RRI.co.id, menurut Gunawan dan Surya Buana dalam studinya, upacara Tawur Kesanga memerlukan suara riuh karena sifat Butha Kala senang dengan suara yang serba keras.
Dalam upacara ini, paparnya, terdapat tindakan seperti menyalakan api dari daun kelapa kering, menyemburkan bau-bau mesiu, jagung, bawang, dan bunyi kentongan, gong, atau gamelan.
Semua kegiatan ini bertujuan mengembalikan posisi lima elemen utama penyusun alam semesta ke dalam sistemnya masing-masing.
Parade Ogoh-Ogoh sudah tak hanya sekedar representasi Bhuta Kala, namun juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Nyepi.
Tradisi ini memiliki peran penting dalam melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu, serta memahami bahwa kebahagiaan atau kehancuran seluruh dunia bergantung pada niat luhur manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.