Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dulunya Bertuah, Sekarang Hanya Barang Dagangan

Rabu, 09 April 2025 | April 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-09T16:22:31Z
Rinjani: Inilah penampakan gunung Rinjani dari desa, (Foto/Istimewa)


Halamankita.com - Rinjani memang menjadi pesona. Setiap sorot mata terhipnotis dibuatnya.


Keindahannya semua orang berebut ingin menjamahnya. Mulai yang menjaganya sampai dengan memperdagangkannya.


Jika melihat kilas balik, dari penuturan para pendaki tua, Rinjani begitu disakralkan. Cerita tuahnya hingga menjadi legenda.


Untuk mendaki saja misalnya, pendaki terdahulu harus melalui ritual. Meminta izin kepada yang kuasa, serta meminta penghuninya bersahabat.


Itu mengapa pendaki zaman dulu naik dengan pakaian yang sopan. Juga disepanjang perjalanan bertutur kata yang baik, seraya berucap kekaguman.


Segera anak yang dijadikan sebagai tempat penyempurnaan ilmu kedigdayaan. Gua-gua sebagai lokasi pertapaan.


Saking keramatnya, tidak hanya mereka yang awam memujinya. Tapi juga mereka kaum pandai cendekia.


Gunung dengan tinggi 3.726 mdpl itu, terus mengisi doa-doa, khususnya masyarakat Lombok. Mengangkasanya permintaan itu buka tanpa alasan, melainkan dadi sebuah keyakinan.


Dalam hati masyarakat, jika Rinjani meletus, pertanda dunia akan musnah. Karena ia titik tengah dari poros dunia.


Kini semuanya hanya tinggal cerita. Semua berubah, tuahnya semakin memudar, yang tampak Rinjani hanya barang dagangan.


Setelah ditetapkannya sebagai geopark dunia, Rinjani mulai menjadi hak milik badan-badan organisasi. Tak lagi sebagai hak ulayat masyarakat.


Mulai diterapkannya aturan-aturan pendakian. Tapi juga, organisasi berubah menjadi kamera pengintai masyarakat.


Tidak main-main, mulai dari denda hingga penjara pun ada. Tapi sampah, zina, dan segala pelengkap wisatanya numpuk jadi satu yang anehnya luput dari aturan.


Di lain sisi, keberadaan juga menimbulkan gesekan, kecemburuan sesama. Saling tuduh tak terhindarkan. 


Kebetulan halamankita.com, mendapatkan keterangan tertulis. Masyarakat melayangkan somasi agar pintu masuk ke Rinjani di kelola secara mandiri.


Kelompok pelaku wisata dan masyarakat Sembalun, meminta agar pemerintah daerah menerbitkan surat sakti. Sebuah regulasi yang bisa mengabulkan permintaan agar pintu masuk ke Rinjani melalui Sembalun di kelola mandiri.


Tuntutan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS) ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap praktik pengelolaan yang dinilai tidak adil, menghambat pembangunan pariwisata berkelanjutan di wilayah Sembalun, khususnya di Gunung Rinjani.


Ketua SMPS, Handanil mengungkapkan, keputusan untuk keinginan mengelola sendiri pintu pendakian Sembalun muncul akibat adanya dominasi kelompok tertentu yang bersikap eksklusif dan tidak mendukung visi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. 


Kelompok ini menyebut kelompok Asosiasi Trek Organizer Senaru (ATOS). Organisasi ini disebut-sebut hanya fokus pada keuntungan kelompoknya sendiri tanpa memperhatikan dampak positif bagi keberlanjutan wisata di Rinjani.


"Jadi teman-teman Sembalun itu memutuskan untuk pisah wilayah atau mengelola sendiri pintu pendakian Sembalun," kata Hamdanil, dalam sebuah forum, Rabu (09/04).


Atos dituding membuat diri eksklusif karena memiliki anggota banyak dan mendominasi dalam hal mengelola wisatawan asing yang melakukan pendakian.


Menurut Handanil, keinginan untuk mengelola mandiri pendakian juga didorong oleh harapan meningkatkan kualitas wisata di Sembalun, yang merupakan jalur utama pintu masuk pendakian ke Gunung Rinjani.


Dia menyinggung, selama ini kelompok di Senaru hanya masih menjual Rinjani dengan harga yang sangat murah. Fokus mereka, kata dia, pada kuantitas sehingga tidak pernah merasa cukup terkait dengan kuota pendakian. 


Sedangkan jalur Sembalun, diakuinya paling ramai, tetapi jika digali lebih dalam itu lebih banyak dikuasai oleh kelompok di Senaru. 


"Tidak memberikan dampak apapun terhadap Sembalun bahkan hanya mengakibatkan pencemaran lingkungan," tegasnya.


Handanil menyinggung lagi kelompok Forum Wisata Lingkar Rinjani (FWLR). Menurutnya seharusnya menjadi wadah pemersatu kelompok-kelompok wisata lintas kabupaten, justru kerap diwarnai kericuhan yang dipicu di internal.


Oleh karena itu, pengelolaan mandiri diyakininya menjadi solusi untuk mewujudkan Sembalun dan Gunung Rinjani sebagai destinasi wisata premium dengan harga yang layak, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.


Artinya, pihaknya mengharapkan Pemkab Lombok Timur mengeluarkan regulasi. Tentunya yang dapat melindungi masyarakat yaitu selaku pelaku usaha wisata di Sembalun sendiri. 


Dia beberapa tahun ke depan akan berdampak kepada semua pelaku wisata mulai dari penginapan, restoran, sopir, ojek, porter dan guide.


"Kemudian bertumbuhnya pengusaha baru baik itu di jasa tour dan jasa wisata lainnya," papar Handanil.


Selain itu, dia mengiba pentingnya dukungan pemerintah daerah terhadap konsep pariwisata berkelanjutan di Rinjani. Menurut Handanil, wisata murah meriah cenderung lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan manfaatnya, terutama terkait dengan lingkungan, sosial, dan ekonomi.


"Yang namanya konsep berkelanjutan itu kan berdampak kepada lingkungan kemudian sosial dan ekonomi ini harus berjalan beriringan sehingga apa yang kita harapkan kesetaraan itu bisa terwujud," terangnya.


Ketua Asosiasi Pengusaha Pendaki Rinjani (APPR), Hamka Abdul Malik, turut menyampaikan dukungannya terhadap penegakan aturan yang tegas oleh pihak Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).


Ia meminta pihak TNGR untuk menindak tegas para pelaku usaha yang memaksa pendakian ilegal dan tidak patuh terhadap regulasi yang berlaku.


Jangan sampai, kata dia, ada tumpang tindih serta tekanan dari kelompok-kelompok tertentu. Harus tegas menegakkan aturan,  karena jika tidak akan menjadi preseden buruk.


"Penegakan aturan ke depan dan mewujudkan Rinjani menjadi wisata premium yang berkelanjutan," kata Hamka.


Sementara, di kaki Rinjani sebelah utara, tak kalah seru. Aliansi Pelaku Wisata dan Masyarakat Lingkar Rinjani Lombok Utara meminta penambahan kuota pendakian.


Dikutip dari wartabumigora, Mereka menuntut pada saat kuota pendakian penuh, agar di buka pintu masuk Gunung Rinjani melalui jalur Senaru dan Torean agar ada keadilan dan pemerataan manfaat bagi masyarakat Lingkar Rinjani.


Mengembalikan tugas Approval Tiket masuk Taman Nasional Gunung Rinjani kepada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). 


Approval Tiket yang selama ini dilakukan oleh Forum untuk di cabut, karena tidak transparan dan tidak akurat.


Pemisahan E Tiket di peruntukan hanya untuk Wisatawan Asing, karena penyalahgunaan terhadap Tiket Lokal dan penyimpangan itu di pakai untuk membatasi kuota.


Penambahan kuota bagi trek organizer harus difasilitasi dengan memakai kuota cadangan disetiap musim High Season sema terdata By Name By Address, agar tidak merugikan banyak pihak, seperti TO, Guide, Porter, Pedagang, Sopir, dan lain sebagainya. 


Disaat kuota penuh, jalur Senaru harus di buka sebagai jalur Alternatif untuk melakukan pendakian bagi siapapun selama menerapkan SOP Rinjani. 


Terkait pembagian kuota, Senaru, Torean, Sembalun 150, sebaliknya Sembalun, Torean, Senaru 250, kebijakan kuota cadangan di High Season, Senaru ke Senaru 100.


Melibatkan masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Taman Nasional Gunung Rinjani, dan tidak ada intimidasi serta pemblokiran izin terhadap TO yang menyampaikan inspirasinya di depan umum.


Menanggapi hal tersebut, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Yarman mengatakan, bakal segara melalukan mengkaji tuntutan tersebut.


"Akan segera dan secepatnya mengkaji dan mengevaluasi terkait apa yang menjadi tuntutan masyarakat Lingkar Rinjani Kabupaten Lombok Utara," ucapnya.

×
Berita Terbaru Update